Sabtu, 16 Februari 2008

Bab-I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Usaha sapi perah sebagai salah satu usaha dibidang peternakan yang secara ekonomi cukup memberi peluang usaha yang menjanjikan bagi peternak, khususnya di wilayah Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat yang telah memiliki jalur pemasaran melalui Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara. Produksi susu sebagai komoditas peternakan yang penting di daerah tersebut telah memberikan kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja dan membantu kehidupan sosial di daerah tersebut dan sekitarnya. Guna menjamin kesinambungan komoditas ini maka dalam usaha ternak sapi perah dibutuhkan pengelolaan peternakan yang memadai terutama menghadapi masa sebelum partus menuju pasca partus.

Selama masa tersebut, induk sapi perah pasca partus mengalami kondisi keseimbangan energi negatif artinya bahwa konsumsi energi lebih rendah dari energi yang dibutuhkan oleh induk. Secara fisiologis, induk sapi perah dalam kondisi keseimbangan energi negatif akan menimbulkan penurunan dry matter intake, perubahan sirkulasi hormonal serta menurunnya sistem imunitas tubuh. Walaupun keseimbangan energi negatif hanya berlangsung hingga 3 minggu pasca partus namun pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis induk sapi perah akan menyebabkan waktu terbitnya estrus pertama pasca partus dan proses involusi uteri yang diperpanjang, pengunduran waktu pelaksanaan inseminasi pasca partus, perpanjangan days open dan calving interval. Masa kosong (days open) adalah jarak waktu antara sapi melahirkan (partus) sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari (Vargas, dkk., 1998 dan Hafez, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa kosong (days open) 85 hari umumnya diperoleh pada induk sapi perah yang mengalami standing estrus (Hafez, 2000). Calving interval merupakan suatu kurun waktu yang sangat penting bagi peternak karena berkaitan dengan kesinambungan produksi susu. Upaya tersebut dapat dicapai apabila induk sapi memiliki calving interval 12-14 bulan artinya bahwa kondisi ini akan diperoleh pada masa kosong (days open) 85-120 hari dengan rataan lama bunting 278 hari.

Induk sapi perah yang tidak mengalami kebuntingan antara 85-120 hari pasca partus dapat dipastikan peternak akan mengalami penurunan pendapatan dari usaha sapi perahnya. Kondisi ini menyebabkan perpanjangan selang beranak (calving interval) sehingga peternak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pemeliharaannya. Suatu hasil penelitian mengenai masa kosong (days open) yang ditemukan pada induk sapi perah di peternakan rakyat Lembang pada tahun 1982 berkisar antara 128,27-133,40 hari dan tahun 1997 mengalami penurunan menjadi 115,30-129,50 hari (Mekir, 1982 dan Hadisutanto, 1997). Dalam kurun waktu 15 tahun, perbedaan masa kosong tersebut kemungkinan disebabkan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran peternak dalam mendeteksi estrus dan menginseminasi sapinya. Sedangkan penampilan masa kosong (days open) pada ternak sapi perah Fries Holland lokal (125,38±48,73 hari) dan impor (121,09±53,56 hari) yang dipelihara di Pangalengan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Sugiarti, 1990).

Kajian ilmiah masa kosong (days open) melalui penelitian umumnya hanya mengungkapkan lamanya masa kosong (days open) berlangsung dan tidak memberikan gambaran variabel performan reproduksi pasca partus seperti lamanya pengeluaran plasenta, lamanya pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus, periode involusi uteri dan estrus kedua pasca partus yang merupakan days to first breeding postpartum sehingga faktor penentu dalam formulasi masa kosong (days open) tidak dapat diketahui dengan jelas.

Secara fisiologis, induk dalam kondisi keseimbangan energi yang negatif akan menyebabkan gangguan keseimbangan hormonal sehingga proses folikulogenesis, estrus dan ovulasi menjadi terhambat karena nutrisi merupakan prekursor dan energi yang harus tersedia untuk menjamin kecukupan produksi hormon serta mengantarkan hormon menuju sel target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk primipara mengalami keterlambatan ovulasi pasca partus lebih besar (21%) dibandingkan pada pluripara (9%). Begitu pula dengan estrus kedua pasca partus yang merupakan days to first breeding postpartum pada primipara membutuhkan waktu yang lebih lama (78,5±2,42 hari) dibandingkan multipara (72,9±1,12 hari). Hal ini disebabkan pada saat partus kondisi primipara baru mencapai kematangan fisik sekitar 82-90% dari bobot tubuh pluripara sehingga menyebabkan ketidakmampuan hipotalamus dalam merangsang LH, menurunnya folikulogenesis serta produksi estrogen (Wathes, 2005).

Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa paritas induk memberikan kontribusi terhadap faktor penentu dalam formulasi masa kosong (days open). Paritas merupakan suatu periode dalam proses siklus reproduksi ternak dengan indikasi jumlah partus induk sapi perah dengan istilah primipara (induk sapi perah yang mengalami satu kali partus) dan pluripara (induk sapi perah yang mengalami lebih dari satu kali partus). Paritas dapat memberikan gambaran aktualisasi kematangan fisik induk sapi perah. Primipara atau induk sapi perah yang mengalami satu kali partus memiliki tingkat kematangan fisik sekitar 82-90%, artinya bahwa induk sapi perah belum mencapai tingkat pertumbuhan yang optimal (Wathes, dkk., 2005). Sedangkan pluripara atau induk sapi perah yang mengalami lebih dari satu kali partus sudah memiliki tingkat kematangan fisik.

Kajian fisiologis terhadap paritas menunjukkan bahwa pluripara memiliki kemampuan mengonsumsi bahan kering, serat kasar serta air minum relatif lebih banyak dibandingkan primipara sehingga kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap faktor penentu dalam formulasi masa kosong (days open) dan jumlah produksi susu. Perkembangan sistem pencernaan induk paritas I yang belum maksimum dibandingkan induk paritas II dan III, memungkinkan bagi induk paritas II dan III untuk lebih meningkatkan dry matter intake relatif lebih banyak dari induk paritas I. Meningkatnya dry matter intake akan menyebabkan peningkatan aliran darah menuju hati (liver) dan saluran pencernaan sehingga proses pencernaan dan penyerapan (absorbsi) zat makanan serta metabolisme steroid juga meningkat.

Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa umumnya puncak laktasi dialami oleh induk paritas III. Kadang-kadang peternak tidak memanfaatkan estrus kedua pasca partus untuk menginseminasi induk sapi perahnya sehingga terjadi kelebihan umur dalam mencapai puncak laktasi. Puncak laktasi sangat berhubungan dengan produksi susu dan jumlah produksi susu memiliki hubungan positif dengan peningkatan hormon prolaktin. Kondisi prolaktin yang tinggi menyebabkan suasana progesteron meningkat sehingga estrogen menjadi rendah yang pada akhirnya berpengaruh terhadap aktualisasi estrus. Induk paritas III memiliki kemampuan menghasilkan produksi lebih tinggi dibandingkan induk paritas II. Hal inilah yang menyebabkan induk paritas II memiliki performan masa kosong (days open) lebih pendek dibandingkan induk paritas III.

Secara berangsur kebutuhan nutrisi pasca partus akan meningkat seiring dengan peningkatan produksi susu dan terjadinya proses pemulihan organ reproduksi. Sejak partus hingga kebuntingan kembali, induk sapi terlebih dahulu harus mengalami periode pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus dan involusi uteri sehingga sangat membutuhkan ketersediaan energi di dalam tubuhnya agar pemulihan organ reproduksi pasca partus dapat berlangsung cepat. Namun kadang-kadang standar pemberian pakan pada induk sapi perah rakyat hanya berdasarkan hijauan campuran yang tersedia di lokasi setempat yang ditambah onggok singkong dan konsentrat yang berasal dari Koperasi sehingga pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi induk sapi bisa terjadi kekurangan ataupun kelebihan.

Dalam hal pemberian karbohidrat terutama yang dapat difermentasi (fermentable carbohydrate) di dalam rumen, pada tingkatan tertentu akan menyebabkan pembentukan kadar ammonia yang rendah dalam rumen. Ammonia tersebut akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen menjadi protein mikroba. Kelebihan ammonia di dalam rumen akan membutuhkan tambahan energi untuk metabolisme dan ekskresi urea serta mengakibatkan terganggunya lingkungan uterus sehingga terjadi penurunan performan reproduksi. Induk sapi yang mengonsumsi protein pakan berkadar tinggi (19-21%) akan menyebabkan peningkatan nitrogen urea di dalam darah atau air susu dan pada konsentrasi yang melebihi 19 mg/dL akan berpengaruh terhadap lingkungan uterus yaitu menurunkan pH uterus dan bersifat toksik atau racun bagi gamet sehingga menyebabkan kegagalan inseminasi buatan karena kegagalan fertilisasi atau mengganggu perkembangan embrio bahkan kematian embrio dini (Canfield, dkk., 1990; Hammond, 1997; Butler, 1998 dan Butler, 2000; Staples dan Thatcher, 2005). Selain itu, meningkatnya konsentrasi urea darah melebihi 19 mg/dL dapat menggambarkan ketidakseimbangan antara protein dan energi yang tersedia sehingga kebutuhan energi lebih banyak dipenuhi dari protein.

Performan reproduksi dengan paritas induk merupakan komponen penting dalam mengkaji formulasi masa kosong (days open) dan pengukuran produktivitas induk sapi perah. Konsekuensi dari masa kosong (days open) yang diperpanjang akan memperlambat proses kering kandang yang mengakibatkan selang beranak (calving interval) akan menjadi lebih lama. Pendekatan dalam penentuan masa kosong (days open) yang dapat dilakukan melalui penelitian ini adalah memperoleh data performan reproduksi akurat yang berkaitan dengan paritas induk, di antaranya lamanya pengeluaran plasenta, lamanya pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus, involusi uteri, intensitas estrus dan estrus kedua pasca partus. Selain itu akan dikaji pula mengenai kadar glukosa darah dan nitrogen urea darah, skor kondisi tubuh dan bobot tubuh serta produksi susu yang secara fisiologis dapat memengaruhi masa kosong (days open).

Berdasarkan kajian tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai Studi Tentang Beberapa Performan Reproduksi Pada Berbagai Paritas Induk Dalam Formulasi Masa Kosong (Days Open) Sapi Perah Fries Holland. Melalui dasar pemikiran ini, dapat dikemukakan tema sentral penelitian sebagai berikut:

Beberapa kajian tentang masa kosong (days open) induk sapi perah Fries Holland di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat sangat terbatas pengungkapan penyebab lama masa kosong (days open). Hal ini disebabkan terbatasnya kajian performan reproduksi pasca partus yang sangat dibutuhkan dalam penyusunan formulasi masa kosong (days open). Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan pendekatan yang komprehensif melalui beberapa aspek performan reproduksi pada berbagai paritas induk yang diformulasikan melalui pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, glukosa darah, estrus pertama pasca partus, involusi uteri, intensitas estrus, estrus kedua pasca partus, nitrogen urea darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu. Melalui upaya ini diharapkan dapat dirumuskan suatu rekomendasi reproduksi yang dapat menunjang formulasi masa kosong (days open) secara lebih memadai.

1.2. Identifikasi Masalah

1. Sampai sejauh mana pengaruh paritas induk terhadap masing-masing performan reproduksi pasca partus yang meliputi pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus, involusi uteri, intensitas estrus, estrus kedua pasca partus, glukosa darah, nitrogen urea darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu pada induk sapi perah Fries Holland.

2. Sampai sejauh mana beberapa performan reproduksi yang menunjukkan perbedaan antar paritas induk berpengaruh terhadap penyusunan formulasi masa kosong (days open) induk sapi perah Fries Holland.

3. Pada paritas induk yang mana mencapai formulasi masa kosong (days open) optimal pada induk sapi perah Fries Holland.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh paritas induk terhadap masing-masing performan reproduksi pasca partus yang meliputi pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus, involusi uteri, intensitas estrus, estrus kedua pasca partus, glukosa darah, nitrogen urea darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu pada induk sapi perah Fries Holland.

2. Untuk mengetahui beberapa performan reproduksi yang menunjukkan perbedaan antar paritas induk berpengaruh terhadap penyusunan formulasi masa kosong (days open) induk sapi perah Fries Holland.

3. Untuk mengetahui paritas induk yang dapat mencapai formulasi masa kosong (days open) optimal pada induk sapi perah Fries Holland.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan informasi ilmiah dan merumuskan suatu rekomendasi reproduksi yang dapat menunjang formulasi masa kosong (days open) secara optimal sebagai upaya meningkatkan efisiensi reproduksi induk sapi perah. Masa kosong (days open) akan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan program reproduksi induk sapi secara lebih baik terutama dalam penentuan waktu inseminasi pertama pasca partus melalui wadah organisasi Koperasi Peternak yang membinanya. Hal ini akan memberikan manfaat langsung bagi peternak untuk memperoleh calving interval dalam waktu yang lebih singkat sehingga dapat diperoleh kelahiran dan produksi susu yang relatif lebih dini.

1.5. Kerangka Pemikiran, Premis dan Perumusan Hipotesis

Partus sebagai akhir dari suatu proses kebuntingan dan merupakan suatu sistem mekanisme fisiologis kompleks dalam proses pengeluaran fetus dan plasenta dari uterus sapi yang mengalami kebuntingan. Proses partus sangat berhubungan dengan siklus hormonal yang melibatkan induk dan fetus dalam suatu mekanisme partus. Proses ini dimulai dari hipotalamus fetus yang sudah mengalami maturasi akan menyekresikan corticotrophic releasing factor untuk merangsang kelenjar hipofisa menghasilkan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari kelenjar korteks adrenal yang menghasilkan kortisol fetus (Peters dan Ball, 1987).

Selama berlangsungnya proses kebuntingan, corpus luteum dan plasenta memiliki kontribusi terhadap produksi progesterone guna mempertahankan kebuntingan namun pada 20 hingga 2 hari menjelang partus, konsentrasi progesterone secara berangsur mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena kortisol fetus merangsang plasenta menyekresikan estrogen untuk menggertak peningkatan prostaglandin F2α dari endometrium uterus dan merangsang peningkatan reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F2α mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi. Kontraksi dari myometrium tersebut menghasilkan refleks Ferguson sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh fetus terhadap cervix dan vagina. Refleks Ferguson tersebut akan memberikan rangsangan terhadap kelenjar hipofisa posterior untuk menyekresikan oxytocin (Peters dan Ball, 1987). Melalui mekanisme hormonal serta tekanan fisik terhadap cervix dan vagina memungkinkan kelahiran berlangsung.

Dalam kondisi normal, plasenta sebagai membran fetus akan keluar dari tubuh induk sekitar 6 – 12 jam pasca partus (Peters dan Ball, 1987; Hafez, 2000). Proses pengeluaran plasenta dimulai dengan terlepasnya ikatan yang menghubungkan karunkula dan kotiledon selama dalam kandungan sehingga mengakibatkan volume darah dalam vili-vili turun dengan cepat. Semakin menurunnya volume darah dalam pembuluh darah maka vili akan mengkerut dan volume uterus berangsur-angsur menjadi kecil.

Sekresi estrogen dan oxytocin yang merangsang kontraksi myometrium akan menyebabkan terjadinya pengurangan volume uterus (Partodihardjo, 1980). Apabila pengeluaran plasenta melebihi dari 12 jam maka induk tersebut mengalami retensio secundinarum yaitu gangguan pengeluaran plasenta (Hajurka, dkk., 2005). Hal tersebut dapat terjadi karena rendahnya kontraksi myometrium dan adanya ketidakseimbangan hormon estrogen dan oxytocin serta partus sebelum waktunya atau prematur (Peters dan Ball, 1987). Namun sekresi oxytocin bagi kepentingan milk let down akan memengaruhi pengaturan keseimbangan antara oxytocin dan estrogen untuk kepentingan kontraksi myometrium sehingga proses pengeluaran plasenta dapat berlangsung normal.

Di samping faktor hormonal, proses pengeluaran plasenta dipengaruhi oleh sistem imunitas induk dan keseimbangan energi induk pasca partus. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem imunitas tubuh induk yang diaktualisasikan dengan kehadiran neutrofil dari kotiledon akan mengurangi jumlah mikroorganisme yang masuk selama proses pengeluaran plasenta (Kimura, dkk., 2002 dan Epperson, 2005). Sanitasi lingkungan kandang yang tidak bersih akan memberikan peluang bagi mikroorganisme untuk menghambat pengeluaran plasenta.

Faktor keseimbangan energi pasca partus juga memengaruhi proses pengeluaran plasenta karena berhubungan dengan tingkat pemisahan antara karunkula dan kotiledon pasca partus (Connor, dkk., 2006). Namun kondisi induk pasca partus mengalami keseimbangan energi yang negatif sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi, induk akan melakukan proses perombakan lemak. Hal inilah yang menyebabkan induk pasca partus tidak mengalami stres metabolik karena kebutuhan energi dapat terpenuhi dari hasil perombakan lemak tubuh (Kaczmarowski, dkk., 2006). Keseimbangan energi pasca partus sangat penting bagi ketersediaan oxytocin dan estrogen untuk kepentingan kontraksi myometrium sehingga proses pengeluaran plasenta dapat berlangsung normal. Hal inilah yang menjadikan dasar pengeluaran plasenta pada primipara dan pluripara dapat berlangsung secara normal baik dalam proses maupun waktu pengeluaran plasenta.

Lochia merupakan ekskretum cairan yang mengandung runtuhan jaringan uterus yang bercampur dengan mukus, darah, sisa-sisa membran fetus dan cairan fetus yang berwarna merah kecoklatan hingga putih (Hafez, 2000; Amiridis, dkk., 2001 dan Palmer, 2003). Menjelang partus hingga beberapa saat pasca partus keberadaan hormon progesteron menurun dan terjadi peningkatan estrogen yang berperan dalam merangsang kontraksi uterus sehingga memudahkan pengeluaran fetus dan cairan lochia pasca partus (Ruesse, 1982; Foote dan Rick, 1999).

Kontraksi ritmik myometrium sangat berperan dalam memperlancar proses pengeluaran cairan lochia. Proses pengeluaran lochia berkisar antara 8 – 14 hari bergantung pada kecepatan pengeluaran plasenta dan keberadaan progesteron pasca partus (Arthur, dkk., 1989 dan Thatcher, dkk., 2006). Induk pasca partus memiliki tiga tipe fase luteal yaitu (a) pendek (4 -12 hari), (b) normal (13 - 20 hari) dan (c) panjang (lebih dari 20 hari) (Terqui, dkk., 1982). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan progesteron akan memengaruhi lamanya pengeluaran lochia karena menurunnya estrogen akan mengurangi rangsangan kontraksi terhadap uterus dan menurunkan kecepatan pengelupasan jaringan atau massa nekrotik dari karunkula.

Kondisi pori-pori pembuluh darah sangat menentukan waktu pengeluaran lochia. Pluripara memiliki pori-pori pembuluh darah lebih besar dari pada primipara karena sudah mengalami partus lebih dari satu kali sehingga cairan lochia yang keluar lebih banyak (1000-2000 ml) dibandingkan primipara (kurang dari 500 ml) (Arthur, dkk., 1989). Hal inilah yang menyebabkan primipara membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pengeluaran lochia dibandingkan pluripara.

Aktivitas ovarium selama kebuntingan cenderung menurun karena rendahnya konsentrasi LH dalam darah. Namun seiring dengan proses awal laktasi terjadi peningkatan frekuensi LH dan sekaligus dimulainya kembali aktivitas ovarium sehingga ovulasi pertama pasca partus umumnya tidak dikuti munculnya perilaku estrus (Goff dan Horst, 1997 Shemesh, 2006). Bearden dan Fuquay (1992) menyatakan bahwa ovulasi yang terjadi 20-30 hari pasca partus umumnya tidak diikuti gejala estrus (quiet ovulations) tetapi bila ovulasi terjadi 40-50 hari pasca partus umumnya diikuti gejala estrus.

Kualitas pakan yang memadai terutama asam propionat sebagai stimulator FSH pasca partus akan memberikan pengaruh terhadap folikulogenesis dan pembentukan folikel dominan untuk menyekresikan estrogen yang memadai bagi kemunculan gejala estrus pertama pasca partus. Peningkatan pelepasan FSH dari hipofisa anterior pada 5-14 hari pasca partus menyebabkan perkembangan folikel dalam ovarium (Tysseling, dkk., 1998 dan Rensis, 2001). Setelah mengalami 2-3 kali atresia yang umumnya terjadi pada 7-8 hari pencapaian folikel dominan selama siklus estrus berlangsung. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi perkembangan folikel yang terdiri dari 3 fase yaitu fase growing, fase static dan fase regressing.

Siklus estrus akan diaktualisasikan dalam 2-3 gelombang folikel dan akhir dari gelombang tersebut dihasilkan folikel dominan yang segera diovulasikan apabila mempunyai ukuran lebih dari 10 mm dengan konsentrasi estrogen lebih dari 5,0 pg/ml (Noseir, 2003). Ukuran folikel dominan akan menentukan jumlah sel granulosa dan produksi estrogen yang berperan dalam penampilan perilaku estrus pertama pasca partus tetapi tidak dilakukan inseminasi karena proses involusi uteri masih berlangsung (Fogwell, 1997). Gelombang folikel akan menentukan lamanya siklus estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa folikulogenesis dengan dua gelombang memiliki potensi konsentrasi estrogen yang lebih tinggi dan konsentrasi progesteron yang lebih rendah dibandingkan folikulogenesis dengan tiga gelombang yang umum dialami oleh induk sapi (Noseir, 2003).

Kemampuan induk sapi primipara dan pluripara dalam menampilkan folikel dominan yang akan diovulasikan dengan ukuran folikel lebih dari 10 mm dan konsentrasi estrogen lebih dari 5,0 pg/ml sangat bergantung pada tingkat keseimbangan energi pasca partus walaupun harus kehilangan sebagian kondisi dan bobot tubuhnya. Paritas induk tidak memengaruhi performan estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai kemampuan double ovulating (2,5±0,1) dibandingkan sapi dara yang hanya single ovulating (1,0±0,0) sehingga estrogen yang dihasilkan dapat melebihi dari 5,0 pg/ml (Wiltbank, dkk., 2000 dan Noseir, 2003).

Involusi uteri adalah kembalinya ukuran dan fungsi uterus dalam kondisi normal sebelum kebuntingan. Kondisi tersebut dimulai sejak berakhirnya minggu pertama pasca partus hingga involusi uteri terjadi secara utuh yang ditandai oleh menyusutnya ukuran corpus dan cornua uteri. Uterus kembali berada di rongga pelvis, konsistensi dan tekanan uterus normal, degenerasi karunkula yang diikuti oleh regenerasi jaringan epitel uterus serta terbebasnya cervix dari bakteri patologis (Bearden dan Fuquay, 1992; Hafez, 2000). Myometrium yang merupakan kumpulan sel otot polos dan serabut kolagen akan mengalami kontraksi ritmik dan berada di bawah pengaruh hormon estrogen dan oxytocin. Proses ini mengakibatkan pemendekan serabut myometrium longitudinal dan sirkuler yang diikuti dengan involusi karunkula dan regenerasi endometrium (Ruesse, 1982; Mateus, dkk., 2002).

Kontraksi myometrium terjadi setiap 3-4 menit selama 1-3 hari pasca partus. Dasar penentuan involusi uteri adalah ukuran corpus uteri sudah kembali normal serta ukuran cornua uteri kiri dan kanan relatif sama; rongga pelvis lebih luas; konsistensi uterus lebih lunak, elastis dan lebih padat; tidak adanya cairan cervix yang bersifat patologis (Hajurka, 2005). Sekresi cairan yang diproduksi oleh sel-sel endometrium akan mendorong runtuhan sel endometrium keluar tubuh sehingga kondisi uterus berangsur-angsur menjadi bersih. Proses kerja sinergis hormon oxytocin, estrogen dan prostaglandin F2α memberikan pengaruh yang kuat terhadap kontraksi myometrium. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan pemendekan jaringan otot sirkuler dan longitudinal dari uterus serta menyusutnya karunkula. Involusi uteri merupakan aktualisasi dari regresi endometrium dan karunkula serta pemendekan jaringan otot sirkuler dan longitudinal dari myometrium. Paritas induk tidak memberikan kontribusi terhadap performan involusi uteri. Hajurka, dkk., (2005) menyatakan bahwa involusi uteri dalam kondisi normal, artinya tidak mengalami retensio sekundinarum, endometritis atau sistik ovari pada primipara (23,0±5,3 hari) dan pluripara (27,3±5,5 hari) tidak memberikan siginifikansi terhadap performan involusi uteri.

Perilaku estrus akan diaktualisasikan melalui intensitas estrus dan kondisi tersebut akan bergantung pada konsentrasi estrogen yang disekresikan oleh folikel de Graaf saat estrus. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa intensitas estrus tidak dipengaruhi oleh paritas induk melainkan disebabkan faktor manajemen dan lingkungan serta fisiologis induk sapi terutama penurunan produksi susu yang disebabkan oleh stres yang berhubungan dengan pengaturan suhu tubuh, keseimbangan energi serta perubahan hormonal. Hal tersebut mengganggu terhadap keseimbangan estrogen sehingga memengaruhi performan intensitas estrus (Nakao dan Yoshida, 2005).

Perubahan manajemen pakan yang terjadi musim dingin dan musim panas pada daerah empat musim akan menimbulkan stres sehingga memengaruhi intensitas estrus (Nebel, 2003). Induk laktasi memiliki kemampuan menghasilkan folikel dominan yang mampu diovulasikan lebih dari satu (double ovulating) dibandingkan sapi dara. Hal ini menyebabkan volume folikuler saat estrus meningkat sehingga terpenuhinya ketersediaan estrogen bagi estrus dan kondisi tersebut teraktualisasi dalam intensitas estrus. Sartori, dkk., (2002) mengungkapkan bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai volume folikuler (2674,4±126,8 mm³) lebih banyak dibanding sapi dara (2202,8±168,5 mm³). Hal tersebut menunjukkan bahwa paritas induk tidak berpengaruh terhadap performan intensitas estrus.

Estrus kedua pasca partus akan dialami oleh induk sapi yang sudah mengalami keseimbangan energi positif karena titik nadir keseimbangan energi negatif berlangsung hingga 3 minggu pasca partus. Kondisi ini berhubungan dengan leptin, insulin dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) yang mempunyai kontribusi dalam meningkatnya feed intake dan pengikatan protein bagi kepentingan pertumbuhan folikel serta maturasi folikel dominan sehingga terjadi peningkatan estrogen yang akan menimbulkan estrus kedua pasca partus dan LH bagi kepentingan ovulasi. Estrus kedua pasca partus umumnya digunakan sebagai langkah awal dalam melakukan inseminasi buatan pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam performan estrus kedua pasca partus yaitu primipara (78,5 ± 2,42 hari) dan pluripara (72,9 ± 1,12 hari). Hal ini disebabkan adanya keterlambatan dalam ovulasi pertama pasca partus pada primipara (Wathes, dkk., 2005).

Inseminasi buatan yang dilakukan pada estrus kedua pasca partus merupakan tindakan fisiologis dalam suatu rangkaian proses reproduksi yang dialami sapi pasca partus setelah mengalami involusi uteri yang diikuti gejala estrus. Dalam kondisi normal, induk sapi dapat menerima inseminasi pasca partus sebanyak tiga kali yaitu (1) estrus kedua pasca partus, (2) estrus ketiga pasca partus jika terjadi estrus berulang dan (3) estrus keempat pasca partus jika terjadi estrus berulang. Kondisi tersebut akan menentukan lamanya days open dan calving interval. Waktu yang tepat untuk inseminasi merupakan dasar bagi deposisi semen ke dalam organ reproduksi induk.

Pelaksanaan inseminasi yang baik dilakukan pada 12-18 jam yang dihitung dari sejak awal berlangsungnya estrus. Penentuan waktu tersebut didasarkan pada kemampuan spermatozoa dapat hidup dengan baik pada saluran reproduksi betina selama 18-24 jam, waktu ovulasi sel telur dan daya hidup sel telur untuk dapat dibuahi 10-20 jam. Sedangkan deposisi semen saat inseminasi dapat dilakukan pada corpus uteri, cornua uteri bagian kanan dan cornua uteri bagian kiri (O’Connor dan Peters, 2003).

Waktu inseminasi, kualitas semen serta deposisi semen dalam uterus merupakan faktor yang menentukan besaran dari service per conception (S/C). Paritas induk tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap performan service per conception. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan service per conception primipara (1,6±0,09) dengan pluripara (1,9±0,08) (Wathes, dkk., 2005). Wells dan Burton, (2002) menyatakan bahwa selain service per conception, indikator tingkat keberhasilan pelaksanaan inseminasi juga dapat diamati melalui conception rate (CR). Conception rate adalah jumlah induk sapi yang bunting dari sejumlah induk yang diinseminasi pertama pasca partus (Hafez, 2000). Conception rate dipengaruhi oleh ukuran folikel dan sistem imunitas tubuh. Vasconcelos, dkk., (2001) menyatakan bahwa ukuran folikel yang akan diovulasikan dan progesteron memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat konsepsi. Sedangkan progesteron juga memegang peran penting terhadap keberadaan neutrofil yaitu sel darah putih granulosit yang berperan dalam sistem imunitas tubuh sehingga kemungkinan mikroorganisme yang akan mengganggu perkembangan embrio dapat dihindari (Ahmadi, dkk., 2006).

Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa secara umum induk sapi pasca partus akan mengonsumsi pakan lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh tubuhnya sehingga akan terjadi keseimbangan energi negatif. Untuk mengatasi kondisi tersebut induk sapi akan memanfaatkan glikogen yang tersimpan di hati serta lemak yang berasal dari jaringan adipose (lemak tubuh) untuk dimetabolisir oleh hati menjadi NEFA (Non Esterifed Fatty Acids) dan BHBA (Beta Hydroxy Butiric Acid) (hasil pembentukan asam butirat terabsorpsi) sebagai sumber energi (Watches dan Taylor, 2002). Menurunnya insulin dan IGF-I dalam kondisi keseimbangan energi negatif disebabkan peningkatan hormon somatotropin yang berfungsi menekan sensitivitas jaringan adipose terhadap insulin. Di samping itu somatotropin akan merangsang kortisol dalam merangsang hati untuk memproduksi lebih banyak glukosa. Insulin dan IGF-I memegang peran penting dalam merangsang FSH dan LH sehingga kondisi penurunan tersebut akan menghambat aktivitas folikulogenesis (Pate, 1999).

Berakhirnya keseimbangan energi negatif akan segera diikuti peningkatan signifikan kadar insulin yang berperan dalam metabolisme karbohidrat. Cadangan energi yang tersimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen akan diubah menjadi glukosa. Glukosa merupakan karbohidrat yang berasal dari asam lemak terbang (Volatile Fatty Acid) yang meliputi asam asetat (C2), asam butirat (C3) dan asam propionat (C4), oleh karena itu asam lemak terbang digunakan sebagai indikator keseimbangan energi terutama pasca partus. Khusus pada sapi perah, asam propionat (C4) yang merupakan hasil fermentasi dalam rumen sangat memberikan peran penting karena sebagai prekursor bagi laktosa.

Glukosa selain penting untuk pertumbuhan dan sumber energi utama pada kondisi keseimbangan energi negatif, juga dibutuhkan oleh sapi perah laktasi untuk sintesa laktosa dan pembentukan ATP dalam proses glikolisis. Mengingat pentingnya peranan glukosa maka konsentrasinya dalam darah dipertahankan untuk tetap stabil yaitu 35-55 mg/dL (Panicke, dkk., 2002). Pada minggu kedua, glukosa darah meningkat 4 - 7% dibandingkan minggu kesatu dan kelima pasca partus (Spicer, dkk., 2002). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada primipara terjadi peningkatan konsentrasi glukosa secara berangsur-angsur hingga 100 hari pasca partus mencapai 58 mg/dL lebih banyak dari pluripara yang cenderung dipertahankan untuk tetap stabil.35-55 mg/dL yaitu 47±2,0 mg/dL. Hal ini disebabkan kebutuhan glukosa primipara tidak hanya digunakan untuk pemulihan organ reproduksi pasca partus dan produksi susu tetapi pencapaian tingkat kematangan fisik yang baru 82-90% (Morbeck, 1991 ; Block, dkk. 2001 dan Wathes, dkk., 2005).

Di samping itu, metabolisme protein juga memberikan kontribusi dalam penyediaan protein bagi pemulihan kondisi tubuh pasca partus dan produksi susu yaitu protein hasil degradasi dan non degradasi protein di dalam rumen yang menghasilkan ammonia untuk digunakan oleh mikroba rumen menjadi protein mikroba. Apabila pembentukan ammonia terlalu banyak maka akan diserap oleh dinding rumen dan dimetabolisir oleh organ hati yang dikonversi dalam bentuk urea. Urea akan di sirkulasi kembali oleh rumen melalui saliva dan diekskresikan melalui urine (Hopkins, 2000 dan Moran 2005). Kelebihan ammonia di dalam rumen akan membutuhkan tambahan energi untuk metabolisme dan ekskresi urea serta mengakibatkan perubahan lingkungan uterus yaitu menurunkan pH uterus dan bersifat toksik atau racun bagi gamet sehingga menyebabkan kegagalan fertilisasi, mengganggu perkembangan embrio bahkan kematian embrio dini (Canfield, dkk., 1990; Hammond, 1997; Butler, 1998 dan Butler, 2000; Staples dan Thatcher, 2005). Muller dan D’Yvoy, (2000) menyatakan bahwa paritas induk tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap performan nitrogen urea darah kecuali induk sapi tersebut diberikan pakan dengan kadar protein bervariasi.

Penurunan kondisi tubuh disebabkan oleh menurunnya dry matter intake sehingga menimbulkan perubahan fisik pada induk sapi terutama terhadap persediaan lemak di dalam tubuh dan perubahan tersebut cukup signifikan antara 30-55 hari pasca partus (Garry, 1993 dan Bayram, dkk. 2006). Menurunnya dry matter intake menyebabkan perombakan cadangan lemak tubuh. Kadar insulin dan IGF-I pasca partus yang rendah menyebabkan dry matter intake menjadi rendah sehingga lebih banyak menggunakan hasil perombakan lemak tubuh (intermuscular fat dan abdominal fat) yang akhirnya terjadi penurunan skor kondisi tubuh. Hasil penelitian Jaquette, dkk., (1988) mengungkapkan bahwa skor kondisi tubuh saat 5 hari pasca partus pada primipara (3,17±0,14) lebih rendah dibandingkan pluripara (3,30±0,19). Adanya penurunan skor kondisi tubuh antar paritas induk lebih disebabkan karena penggunaan zat makanan lebih banyak pada prmipara terutama dalam mencukupi kebutuhan kematangan fisiknya.

Bobot tubuh umumnya digunakan sebagai dasar penentuan massa lemak tubuh dan protein tubuh yang menggambarkan konsumsi dan kebutuhan energi. Vargas, dkk., (1998) menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan yang mencerminkan bobot tubuh sangat dipengaruhi oleh umur pertama sapi tersebut dikawinkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa primipara baru mencapai kematangan fisiknya antara 82-90% dari pluripara artinya masih terdapat peluang bagi primipara untuk meningkatkan laju pertumbuhannya (Wathes, dkk., (2005). Hal inilah yang menyebabkan primipara cenderung mempunyai rataan bobot tubuh lebih ringan dibandingkan pluripara (Bayram, dkk., 2006).

Bobot tubuh akan berjalan seiring dengan kondisi keseimbangan energi. Setiap perubahan yang terjadi pada 30-55 hari pasca partus akan teraktualisasi pada massa lemak dan protein tubuh (Pennington, 1994 dan Bayram, dkk., 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan paritas mempunyai hubungan dengan performan bobot tubuh. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pemanfaatan konsumsi energi yang berlebih pada saat produksi susu berangsur menurun sehingga sebagian energi akan disimpan sebagai lemak tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya bobot tubuh akan sangat berhubungan dengan performan reproduksi bahkan induk sapi yang kehilangan lebih dari 10% dari bobot tubuhnya akan mengalami gangguan dalam folikulogenesis dan keterlambatan estrus serta penurunan fertilitas sehingga terjadi perpanjangan masa kosong (days open) (Samarŭtel, dkk., 2001 ; Morton, 2004 ; Bayram, dkk., 2006).

Produksi susu yang dihasilkan akan memberikan penilaian keseimbangan energi dalam tubuh. Induk sapi perah dalam kondisi keseimbangan energi yang negatif akan menghasilkan produksi susu yang rendah dengan kadar lemak yang tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya feed intake pasca partus sehingga induk sapi harus melakukan perombakan lemak tubuhnya guna memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu (de Vries dan Veerkamp, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan paritas dan bobot tubuh akan memiliki kecenderungan peningkatan produksi susu (Bayram, dkk., 2006). Puncak laktasi akan dicapai pada induk paritas III dan setelah periode tersebut produksi susu akan berangsur menurun. Hal ini berakibat pada penurunan performan reproduksi karena lemak lebih dikontribusikan pada lemak susu dibandingkan sebagai prekursor hormon.

Perkembangan sistem pencernaan induk paritas I yang belum maksimum dibandingkan induk paritas II dan III, memungkinkan bagi induk paritas II dan III untuk lebih meningkatkan dry matter intake relatif lebih banyak dari induk paritas I. Meningkatnya dry matter intake akan menyebabkan peningkatan aliran darah menuju hati (liver) dan saluran pencernaan sehingga proses pencernaan dan penyerapan (absorbsi) zat makanan serta metabolisme steroid juga meningkat. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa umumnya puncak laktasi dialami oleh induk paritas III. Jumlah produksi susu memiliki hubungan yang positif dengan peningkatan hormon prolaktin. Namun kehadiran prolaktin akan merangsang corpus luteum untuk menyekresikan progesteron yang memengaruhi panjangnya siklus estrus. Panjangnya siklus estrus menggambarkan fungsi dari panjangnya umur corpus luteum yang dengan sekresi utamanya progesteron akan mengadakan suatu hambatan terhadap hipotalamus dan hipofisa anterior sehingga pematangan folikel de Graaf dan ovulasi berikutnya tidak terjadi. Hal inilah yang menyebabkan induk paritas II memiliki performan masa kosong (days open) yang lebih pendek dibandingkan induk paritas III.

Masa Kosong (days open) merupakan rangkaian panjang dan berkesinambungan dari sejak berakhirnya partus hingga induk sapi menjadi bunting yang meliputi pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus, involusi uteri, estrus kedua pasca partus, intensitas estrus dan inseminasi (first breeding postpartum). Kondisi keseimbangan energi negatif pasca partus akan menyertai peristiwa fisiologis, di antaranya glukosa darah, nitrogen urea darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu. First breeding postpartum merupakan langkah yang harus dicermati karena sangat berhubungan dengan deteksi estrus yaitu estrus kedua pasca partus. Keberhasilan first breeding postpartum merupakan aktualisasi service per conception yang rendah, conception rate yang tinggi dan waktu yang singkat dari masa kosong (days open). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa adanya hubungan antar paritas induk terhadap performan reproduksi dan penyusunan suatu masa kosong (days open). Induk paritas II memberikan performan reproduksi dan penyusunan masa kosong (days open) lebih baik dibandingkan induk paritas I yang baru memiliki kematangan fisik 82-90% dan induk paritas III yang dalam kondisi puncak laktasi (Hendricks, 2004 dan Fricke, 2005).

Berdasarkan pada kerangka pemikiran di atas, maka diperlukan rumusan beberapa performan reproduksi dengan paritas induk sehingga dapat diformulasi masa kosong (days open) secara lebih tepat dalam menunjang manajemen reproduksi sapi perah Fries Holland.

Premis-premis

Premis 1:

Proses partus induk sapi perah dimulai dari hipotalamus fetus yang sudah mengalami maturasi akan menyekresikan corticotrophin releasing factor untuk merangsang kelenjar hipofisa anterior menghasilkan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Selanjutnya ACTH merangsang korteks kelenjar adrenal fetus sehingga dihasilkan kortisol fetus. Kortisol fetus merangsang plasenta untuk menyekresikan estrogen guna menggertak peningkatan prostaglandin F2α dari endometrium uterus serta merangsang peningkatan reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F2α mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa paritas induk tidak memengaruhi lamanya pengeluaran plasenta (McDonald, 1975; Peter dan Ball, 1987; Goff dan Horst, 1997; Hafez, 2000).

Premis 2:

Kontraksi myometrium menghasilkan refleks Ferguson sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh fetus terhadap cervix dan vagina. Refleks tersebut akan memberikan rangsangan terhadap kelenjar hipofisa posterior untuk menyekresikan oxytocin. Oxytocin, estrogen dan prostaglandin F2α bekerja secara simultan dalam memberikan rangsangan kuat myometrium untuk berkontraksi sehingga terjadi proses pelepasan perlekatan chorion fetus dari karunkula induk (McDonald, 1975; Peter dan Ball, 1987; Goff dan Horst, 1997; Hafez, 2000).

Premis 3:

Oxytocin, estrogen dan prostaglandin F bekerja secara simultan dalam memberikan rangsangan kuat myometrium untuk berkontraksi sehingga menyebabkan runtuhnya sel-sel endometrium dan bercampur dengan sekresi cairan uterus yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar endometrium. Berlangsungnya proses kontraksi ritmik yang diikuti pengeluaran runtuhan sel-sel endometrium dan sekresi cairan uterus pasca partus menyebabkan pengeluaran lochia. Volume dan kondisi pori-pori pembuluh darah uterus pluripara lebih besar sehingga proses pengeluaran lochia lebih cepat dibandingkan primipara. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa paritas induk memengaruhi lamanya pengeluaran lochia (Terqui, dkk., 1982; Peter dan Ball, 1987 dan Arthur, dkk., 1989).

Premis 4:

Peningkatan pelepasan FSH dari hipofisa anterior pada 5-14 hari pasca partus menyebabkan perkembangan folikel dalam ovarium. Setelah mengalami 2-3 kali atresia yang umumnya terjadi pada 7-8 hari pencapaian folikel dominan selama siklus estrus berlangsung. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi perkembangan folikel yang terdiri dari 3 fase yaitu fase growing, fase static dan fase regressing. Siklus estrus akan diaktualisasikan dalam 2-3 gelombang folikel dan akhir dari gelombang tersebut dihasilkan folikel dominan yang akan diovulasikan apabila mempunyai ukuran lebih dari 10 mm dengan konsentrasi estrogen lebih dari 5,0 pg/ml. Paritas induk tidak memengaruhi performan estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk sapi perah laktasi umumnya menghasilkan ovum lebih dari satu (double ovulating) yaitu 2,5±0,1 dibandingkan sapi dara (1,0±0,0). (Tysseling, dkk., 1998; Rensis, 2001 dan Noseir, 2003).

Premis 5:

Involusi uteri adalah kembalinya ukuran dan fungsi uterus dalam kondisi normal seperti sebelum bunting. Paritas induk tidak memberikan kontribusi terhadap performan involusi uteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk sapi perah yang baru sekali partus (23,0±5,3 hari) dan induk sapi perah yang lebih dari satu kali partus (27,3±5,5 hari) tidak memberikan signifikansi terhadap performan involusi uteri (Hajurka, dkk., 2005).

Premis 6 :

Induk sapi perah laktasi memiliki kemampuan menghasilkan folikel dominan yang mampu diovulasikan lebih dari satu (double ovulating) dibandingkan sapi dara. Hal ini menyebabkan volume cairan folikuler saat estrus meningkat sehingga terpenuhinya ketersediaan estrogen bagi estrus dan kondisi tersebut teraktualisasi dalam intensitas estrus. Induk sapi perah laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai volume folikuler (2674,4±126,8 mm³) lebih besar dibanding sapi dara (2202,8±168,5 mm³). Hal tersebut menunjukkan bahwa paritas induk tidak berpengaruh terhadap performan intensitas estrus (Sartori, dkk., 2002)

Premis 7:

Estrus kedua pasca partus akan dialami oleh induk sapi perah yang sudah mengalami keseimbangan energi positif karena titik nadir keseimbangan energi negatif berlangsung hingga 3 minggu pasca partus. Estrus kedua pasca partus umumnya digunakan sebagai langkah awal dalam melakukan inseminasi buatan pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam performan estrus kedua pasca partus yaitu primipara (78,5 ± 2,42 hari) dan pluripara (72,9 ± 1,12 hari). Hal ini disebabkan adanya keterlambatan dalam ovulasi pertama pasca partus pada primipara (O’Connor dan Peters, 2003 ; Wathes, dkk., 2005).

Premis 8 :

Kadar glukosa darah induk sapi perah akan mengalami peningkatan hingga 5 minggu pasca partus dan setelah waktu tersebut akan mengalami keseimbangan dengan kadar glukosa darah antara 35-55 mg/dL. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa primipara hingga 100 hari pasca partus membutuhkan glukosa (58 mg/dL) lebih banyak dari pluripara yang cenderung dipertahankan untuk tetap stabil.35-55 mg/dL Hal ini disebabkan kebutuhan glukosa primipara tidak hanya digunakan untuk pemulihan organ reproduksi pasca partus dan produksi susu tetapi pencapaian tingkat kematangan fisik yang baru 82-90% (Morbeck, 1991 ; Panicke, dkk., 2002 ;Watches, dkk. 2005).

Premis 9:

Nitrogen urea darah merupakan indikator yang menggambarkan tingkat protein pakan. Kadar nitrogen urea darah induk sapi perah yang direkomendasikan untuk memperoleh performan reproduksi yang baik adalah tidak melebihi 19 mg/dL. Kelebihan protein akan mengakibatkan perubahan lingkungan uterus yaitu menurunkan pH uterus dan bersifat toksik atau racun bagi gamet. Paritas induk tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap performan nitrogen urea darah kecuali induk sapi perah diberikan pakan dengan kadar protein yang berbeda-beda (Canfield, dkk., 1990; Hammond, 1997; Butler, 1998 dan Butler, 2000; Muller dan D’Yvoy, 2000 ; Staples dan Thatcher, 2005).

Premis 10 :

Proses pemenuhan kebutuhan energi diperoleh melalui dry matter intake dan perombakan cadangan lemak tubuh. Kadar insulin dan IGF-I pasca partus yang rendah menyebabkan dry matter intake menjadi rendah sehingga lebih banyak menggunakan hasil perombakan lemak tubuh (intermuscular fat dan abdominal fat) sehingga terjadi penurunan skor kondisi tubuh. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa skor kondisi tubuh saat 5 hari pasca partus pada primipara (3,17±0,14) lebih rendah dibandingkan pluripara (3,30±0,19). Adanya penurunan skor kondisi tubuh antar paritas induk sapi perah lebih disebabkan karena penggunaan zat makanan lebih banyak pada prmipara terutama dalam mencukupi kebutuhan kematangan fisiknya (Jaquette, dkk., 1988).

Premis 11:

Bobot tubuh umumnya digunakan sebagai dasar penentuan massa lemak tubuh dan protein tubuh yang menggambarkan konsumsi dan kebutuhan energi. Bobot tubuh akan berjalan seiring dengan kondisi keseimbangan energi. Setiap perubahan yang terjadi pada 30-55 hari pasca partus akan teraktualisasi pada massa lemak dan protein tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan paritas mempunyai hubungan dengan performan bobot tubuh. Primipara cenderung mempunyai rataan bobot tubuh lebih ringan dibandingkan pluripara. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pemanfaatan konsumsi energi yang berlebih pada saat produksi susu sapi perah berangsur menurun sehingga sebagian energi akan disimpan sebagai lemak tubuh (Pennington, 1994 dan Bayram, dkk., 2006).

Premis 12:

Produksi susu sangat dipengaruhi oleh paritas dan bobot tubuh serta keseimbangan energi tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan paritas dan bobot tubuh akan memiliki kecenderungan peningkatan produksi susu. Puncak laktasi akan dicapai pada induk sapi perah paritas III dan setelah periode tersebut produksi susu akan berangsur menurun. Hal ini berakibat pada penurunan performan reproduksi karena lemak lebih dikontribusikan pada lemak susu dibandingkan sebagai prekursor hormon (Bayram, dkk., 2006).

Premis 13 :

First breeding postpartum merupakan langkah yang harus dicermati karena sangat berhubungan dengan deteksi estrus yaitu estrus kedua pasca partus. Keberhasilan first breeding postpartum merupakan aktualisasi service per conception yang rendah, conception rate yang tinggi dan waktu yang singkat dari days open. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa adanya hubungan antar paritas induk terhadap performan reproduksi dan penyusunan suatu days open. Pluripara memberikan performan reproduksi dan penyusunan days open lebih baik dibandingkan primipara artinya bahwa induk sapi yang sudah partus lebih dari sekali memiliki kemampuan memberikan performan reproduksi dan penyusunan days open lebih memadai dari induk yang baru sekali partus (Hendricks, 2004 dan Fricke, 2005).

Perumusan Hipotesis

1. Paritas induk memengaruhi beberapa performan reproduksi pasca partus yang terdiri dari pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus, involusi uteri, intensitas estrus, estrus kedua pasca partus, glukosa darah, nitrogen urea darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu pada induk sapi perah Fries Holland (Premis 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12)

2. Beberapa performan reproduksi yang menunjukkan perbedaan antar paritas induk berpengaruh terhadap penyusunan formulasi masa kosong (days open) pada masing-masing paritas induk sapi perah Fries Holland (Premis 3,7,8,10,11,12,13)

3. Paritas kedua memberikan masa kosong (days open) optimal induk sapi perah Fries Holland (Premis 13)

Abstrak

ABSTRAK

STUDI TENTANG BEBERAPA PERFORMAN REPRODUKSI PADA BERBAGAI PARITAS INDUK DALAM FORMULASI MASA KOSONG (DAYS OPEN ) SAPI PERAH FRIES HOLLAND

(Kasus pada Peternakan Rakyat di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat)

Oleh:

BAMBANG HADISUTANTO

Tim Promotor: Prof. Dr. drh. H. Paggi; Dr. drh. H. Sutarman Mihardja, DEA; Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc dan Dr agr. Ir. Hj. Rd. Siti Darodjah, MS

Studi tentang beberapa performan reproduksi pada berbagai paritas induk dalam formulasi days open sapi perah Fries Holland telah dilaksanakan di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara Lembang Bandung dari Januari 2005 sampai dengan April 2006. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh paritas induk terhadap performan reproduksi pasca partus yang meliputi pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus, involusi uteri, intensitas estrus, estrus kedua pasca partus, glukosa darah, nitrogen urea darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu dalam formulasi masa kosong (days open).

Penelitian dilakukan secara purposive random sampling dengan rancangan klasifikasi satu arah. Dalam penelitian ini diamati 90 ekor induk sapi perah pasca partus yang terdiri dari 30 ekor induk paritas kesatu, 30 ekor induk paritas kedua dan 30 ekor induk paritas ketiga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa paritas induk berpengaruh terhadap performan pengeluaran lochia, estrus kedua pasca partus, glukosa darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu (P<0.05). Pengeluaran lochia induk paritas kesatu (18,13±5,31 hari) berbeda nyata dengan induk paritas kedua (14,60±4,38 hari) dan ketiga (16,20±4,54 hari). Estrus kedua pasca partus induk paritas kesatu (83,5±25,74 hari) berbeda nyata dengan induk paritas kedua (68,23±22,83 hari) dan ketiga (74,1±24,75 hari). Glukosa darah induk paritas kesatu (51,57±5,56 mg/dL) berbeda nyata dengan induk paritas kedua (45,57±8,01 mg/dL) dan ketiga (46,7±8,62 mg/dL). Skor kondisi tubuh 3 induk paritas kesatu pada bulan III pasca partus mencapai 43,33% lebih kecil dibandingkan jumlah induk paritas II (73,33%) dan III (66,67%). Bobot tubuh induk paritas kesatu 432,87±51,50 kg) berbeda nyata dengan induk paritas kedua (465,72±44,00 kg) dan ketiga (476,82±45,76 kg). Produksi susu induk paritas kesatu (17,73±2,25 liter/hari) berbeda nyata dengan induk paritas kedua (21,98±3,22 liter/hari) dan ketiga (22,59±3,98 liter/hari). Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa formulasi masa kosong (days open) dipengaruhi oleh performan pengeluaran lochia, estrus kedua pasca partus, glukosa darah, skor kondisi tubuh, bobot tubuh dan produksi susu. Pada induk paritas kesatu (106,07±38,11 hari) menunjukkan perbedaan nyata dengan induk paritas kedua (86,23±29,00 hari) dan ketiga (89,23±38,22 hari) terhadap formulasi masa kosong (days open).

_________________________

Kata Kunci: Fries Holland, paritas, pasca partus dan performan reproduksi.

ABSTRACT

Study on Several Reproductive Performances of Various Parities in Days Open Formulation of Fries Holland Dairy Cows

(Case in Rural Dairy Farm, Lembang, West Bandung)

By:

Bambang Hadisutanto

Supervisors: Prof. Dr. drh. H. Paggi

Dr. drh. H. Sutarman Mihardja, DEA;

Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc

Dr agr. Ir. Hj. Rd. Siti Darodjah, MS

Study on several reproductive performances of various parities in days open formulation of Fries Holland dairy cows has been conducted from January 2005 until April 2006 on North Bandung Dairy Coop (KPSBU) Lembang, West Java. The objectives of this study were to find out the influence of several parities on postpartum reproductive performance (placenta expulsion, lochia expulsion, fisrt estrus postpartum, uterine involution, intensity of estrus, second estrus postpartum, blood glucose, urea nitrogen blood, body condition score, body weight and milk yield) and days open formulation toward reproductive performance postpartum.

The study was conducted in purposive random sampling implemented by using one way classification with ninety cows postpartum which consist of thirty cows of first parity, thirty second parity and thirty third parity.

The result of the study showed that parities has a significant effect on lochia expulsion, second estrus postpartum, blood glucose, body condition score, body weight and milk yield (P< style=""> Body condition score 3 on first parity at the third month postpartum (43,33%) is smallest on second (73,33%) and third parity (66,67%). Body weight first parity (432,87±51,50 kg) has significant effect on second (465,72±44,00 kg) and third parity (476,82±45,76 kg). Milk yield first parity (17,73±2,25 litre/day) has significant effect on second parity (21,98±3,22 litre/day) and third parity (22,59±3,98 litre/day). Furthermore these study showed that days open formulation influence by lochia expulsion performance, second estrus postpartum, blood glucose, body condition score, body weight and milk yield. First parity (106,07±38,11 days) showed that significant effect on second parity (86,23±29,00 days) and third parity (89,23±38,22 days) on days open formulation.

_________________________

Key word: Fries Holland, parity, postpartum and reproductive performance.